![]() |
Caption : warga desa Gajah Makmur kecamatan Sungai Menang OKI saat duduki lahan mereka yang di rampas oleh PT RPP. |
OKI, transkapuas.com –Setelah 12 tahun menanti janji program plasma yang tak kunjung nyata, puluhan warga Desa Gajah Makmur, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan ( Sum-Sel),memutuskan merebut kembali hak atas tanah milik mereka. Langkah ini diambil menyusul kekecewaan mendalam terhadap perusahaan perkebunan sawit PT Russelindo Putra Pratama (PT RPP) dan koperasi yang dianggap gagal memperjuangkan hak-hak warga.
Warga menyebut sudah tidak ingin lagi bergantung pada janji perusahaan maupun koperasi Karya Makmur yang selama ini menjadi fasilitator. Dari 440 pemilik sertifikat, sebanyak 92 orang menyatakan keluar dari keanggotaan koperasi karena dinilai tidak berpihak dan tidak transparan.
“Kami sudah terlalu capek menunggu. Selama 12 tahun lebih kami percaya, tapi tidak ada hasilnya sama sekali,” ujar Suryanto, salah satu warga yang kini mulai mengolah kembali tanahnya, Kamis (10/7).
Menurut Suryanto, sejak 2013 warga menyerahkan tanah seluas 440 hektar kepada PT RPP untuk dijadikan lahan plasma. Namun hingga kini, tak ada jejak penanaman, panen, apalagi bagi hasil. Sejak 2017 bahkan perusahaan sempat meminta agar sertifikat hak milik diserahkan, namun realisasi tak kunjung terjadi.
“Katanya mau diberdayakan. Tapi jangankan pohon sawit, jejak proses perkebunan pun tidak ada,” imbuhnya.
Puncaknya, pada 26 Juni lalu warga menggelar aksi damai di kantor plasma PT RPP, namun tetap tidak mendapat kejelasan. Akhirnya, mereka sepakat mematok kembali batas lahan dan mengubah fungsinya menjadi sawah.
“Kalau perusahaan tidak bisa memberdayakan, biar kami sendiri yang hidup dari sini,” tegas Suryanto.
Di tengah perjuangan warga, Ketua Koperasi Karya Makmur, Edi Agusmanto, belum memberikan klarifikasi meski telah dihubungi berulang kali. Koperasi yang diharapkan membela hak warga justru dinilai berdiam diri.
Menyikapi kondisi ini, Lembaga Investigasi Negara (LIN) Kabupaten OKI yang kini menjadi pendamping warga, menilai tindakan perusahaan sebagai kelalaian yang berpotensi memicu konflik agraria.
“Permintaan warga ini sederhana: mereka hanya ingin sertifikat tanahnya dikembalikan,” ujar Hamadi dari LIN OKI. “Kalau terus diabaikan, bukan tidak mungkin muncul konflik horizontal yang berkepanjangan.”
Hamadi juga mendesak Pemkab OKI untuk turun tangan menengahi permasalahan ini demi mencegah potensi kerusuhan sosial.
“Warga sudah cukup bersabar. Mereka tidak menuntut ganti rugi, hanya keadilan,” tegasnya.
Kini warga Desa Gajah Makmur kembali menggantungkan harapan pada cangkul dan tangan mereka sendiri. Tanah yang dulu dijanjikan menjadi sumber kesejahteraan, kini ditanami bukan oleh korporasi, tetapi oleh pemilik sahnya sendiri.
(Mas Tris)