![]() |
Caption : Sekda OKI H. Asmar Wijaya. |
OKI, transkapuas.com – Belum genap setahun memimpin, duet Bupati Ogan Komering Ilir (OKI) H. Muchendi Mahzareki dan Wakil Bupati Suprianto mulai disorot tajam publik. Janji perubahan melalui jargon “OKI GAS: Maju, Sejahtera, dan Saatnya yang Muda Bekerja” dinilai mulai kehilangan arah.
Salah satu kebijakan yang memicu sorotan ialah pengalihan skema pengadaan mobil dinas bupati menjadi sistem sewa jangka panjang. Pemerintah mengklaim langkah ini untuk efisiensi anggaran. Namun ironisnya, di saat yang sama DPRD OKI justru mengusulkan pembelian mobil dinas baru.
"Ini inkonsistensi antar lembaga. Bupati menahan belanja, tapi DPRD minta mobil baru. Di mana sinerginya?” kritik M. Salim Kosim, S.IP, Ketua Pusat Riset Kebijakan dan Pelayanan Masyarakat (PRISMA), Senin (7/7/2025).
Menurut Salim, pemerintahan Muchendi–Suprianto belum menunjukkan arah pembangunan yang tegas.
"Efisiensi tanpa strategi itu semu. Yang dibutuhkan OKI hari ini adalah keberanian menata ulang birokrasi, bukan sekadar bermain slogan,” tegasnya.
Warisan Masalah Tak Kunjung Tuntas
Kepemimpinan Muchendi–Suprianto masih dibayangi warisan problematika klasik: defisit APBD yang mengular sejak 2017, dana lelang lebak lebung (L3) yang belum tersalurkan sejak 2022, hingga keluhan tentang keterlambatan gaji perangkat desa dan pemotongan tunjangan operasional ASN.
Seorang kepala desa dari Kecamatan Tulung Selapan, yang enggan disebutkan namanya, mengaku kecewa.
"Ini bukan cuma soal teknis APBD, tapi soal hak rakyat. Di mana keadilan fiskal untuk desa?” ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Daerah OKI, H. Asmar Wijaya, membenarkan adanya keterlambatan penyaluran dana
"Dana L3 tahun 2022 baru mengetahui belum dibayarkan. Nanti akan dikoordinasikan dengan instansi terkait. Untuk gaji perangkat desa, saat ini sudah mulai dibayarkan, meski bertahap. Dari tujuh bulan, baru tiga bulan yang cair,” jelasnya, Selasa (8/7).
Prioritas Pembangunan Dipertanyakan
Kritik semakin tajam ketika sejumlah pejabat Pemkab OKI diketahui menghadiri festival seni di TMII, Jakarta, di tengah kondisi keuangan daerah yang tengah terjepit. Publik menilai langkah itu tidak menunjukkan kepekaan sosial.
"Efisiensi tak bisa dijalankan setengah hati. Rakyat tahu mana simbolik, mana empati nyata,” imbuh Salim.
Sementara itu, kebijakan pengalokasian dana pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD OKI untuk proyek skala kecil juga menuai sorotan. Pokir dinilai tak menyentuh kebutuhan infrastruktur yang mendesak, bahkan diduga digunakan sebagai alat konsolidasi politik “pasang dalam”.
Tuntutan Reformasi Birokrasi
PRISMA juga mendorong Bupati-Wabup agar tidak ragu mereformasi birokrasi dan menindak ASN yang tidak loyal terhadap visi kepemimpinan baru.
"Kalau saat Pilkada kemarin ada birokrasi lama yang tak mendukung, sekarang saatnya menunjukkan ketegasan. ASN yang menghambat harus ditindak. Ingat, jika ada matahari kembar, maka kapal akan karam,” kata Salim tajam.
Antara Bukti dan Retorika
Kini masyarakat OKI menanti pembuktian. Apakah “OKI GAS” benar-benar akan membawa perubahan? Ataukah hanya menjadi jargon politik yang tinggal janji?
Waktu akan menjadi hakim. Dan sejarah hanya mencatat mereka yang bekerja, bukan yang sekadar berslogan.
(Mas Tris)