Notification

×

BPKAD

BPKAD

Sumpah pemuda

Sumpah pemuda

RIP

RIP

Di Pedamaran Empat Objek Gagal Laku, Ada Apa di Balik “Lebak Sepi Peminat”?

Kamis, 20 November 2025 | 06.08.00 WIB Last Updated 2025-11-19T23:08:01Z
Caption : Suasana pelaksanaan lelang Lebak Lebung dan Sungai (L3S) di Kecamatan Kota Kayuagung, OKI, tampak ramai. Para peserta lelang saling bersaing untuk mendapatkan objek garapan tradisional yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat. Rabu (19/11/2025)


OKI, transkapuas.com — Lelang Lebak Lebung dan Sungai (L3S) di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, pada 19 November 2025 kembali mencatatkan capaian besar, yakni total pendapatan Rp586 juta dari dua kecamatan.


Namun di balik angka fantastis itu, tersisa tanda tanya besar: mengapa empat objek justru sama sekali tidak diminati meski puluhan peserta hadir?


Dari 29 objek yang dilelang di Pedamaran, 25 laku terjual dengan nilai Rp577,9 juta. Camat Pedamaran, Yusnurzal, memastikan bahwa harga yang dipatok bukan asal-asalan.


"Harga ini bervariasi sesuai standar masing-masing objek yang telah ditetapkan pemerintah daerah,” ujar Yusnurzal.


Satu objek tambahan dari Pedamaran Timur—Lebak Talang Batin—menambah pemasukan Rp8,1 juta sehingga total pendapatan dua kecamatan mencapai Rp586 juta.



Empat Objek Tak Dilirik: Gejala “Overprice” Mulai Terlihat?


Meski jumlah peserta mencapai sekitar 50 orang, empat objek berikut benar-benar tidak tersentuh:


Lebak Laut Sekampung


Lebak Petai Besar


Lebak Petai Kecik


Lebak Lebung Kuali



Dari penelusuran lapangan, beberapa peserta menyebut standar harga yang dipatok pemerintah tidak lagi sebanding dengan potensi nyata di lokasi. Kondisi hasil tangkapan menurun, namun standar harga tetap stagnan bahkan cenderung tidak mengikuti realitas produksi.


Tidak satu pun peserta berani berkomentar secara terbuka. Sebagian hanya berbisik:

“Kalau diambil, lebih rugi…”


Pernyataan itu mengisyaratkan adanya kekhawatiran atau sensitivitas tertentu terhadap sistem penetapan harga yang dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi lebak di pedalaman.


Pola Berulang: Transparansi Ada, Evaluasi Tak Kunjung Datang


Secara sistem, L3S disebut terbuka dan bebas diikuti siapa pun. Namun fenomena objek gagal laku bukan hal baru—polanya berulang setiap tahun.


Indikasi dari hasil penelusuran:


Standar harga diduga tidak mengikuti penurunan produktivitas ikan, udang, dan hasil tangkapan lain.


Sejumlah lebak mengalami degradasi ekologi, namun standar harga tidak menyesuaikan.


Peserta enggan menyampaikan protes secara terbuka karena takut dianggap menghambat proses atau “ribut” dengan pihak kecamatan.


Dengan kata lain: transparansi ada, tetapi evaluasi justru absen.


Pemerhati Perikanan: “L3S Berjalan, Warga Perairan Justru Makin Tertekan”


Pemerhati perikanan darat, Monde Memet, menilai pemerintah daerah perlu menghentikan cara pandang yang menjadikan L3S semata mesin pendapatan.


"Banyak lebak yang sudah tidak produktif lagi. Kalau standar tetap tinggi, masyarakat Pengemin yang paling terpukul. Pemerintah harus evaluasi potensi riil, bukan sekadar angka di atas kertas,” ujar Memet.


Ia menegaskan bahwa tanpa koreksi harga dan kajian lapangan yang faktual, jumlah objek gagal laku akan terus bertambah. Dampaknya bukan hanya pada pemasukan daerah, tetapi juga pada keberlanjutan ekonomi masyarakat perairan.


(Mas Tris)

×
Berita Terbaru Update