Notification

×

BPKAD OKI

BPKAD OKI

Kepala Sekolah Bermasalah? Sri Astuti Diduga Naik Jabatan Ilegal, Pedamaran Bergolak

Jumat, 26 September 2025 | 04.47.00 WIB Last Updated 2025-09-25T21:47:29Z
Caption Gedung SD negeri 5 Pedamaran.Kamis 25/09/2025.


OKI, transkapuas.com – Hiruk pikuk dunia pendidikan di Kecamatan Pedamaran, kabupaten OKI, Sum Sel,mendadak bergolak. Bukan karena prestasi atau inovasi, melainkan karena penunjukan mendadak seorang kepala sekolah yang memantik resistensi luas. Sosok itu adalah Sri Astuti, S.Pd., guru berpangkat III/b yang kini resmi menjabat Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) 5 Pedamaran.


Alih-alih disambut dengan sukacita, pengangkatan Sri Astuti justru memantik gelombang perlawanan kolektif dari dewan guru, masyarakat, hingga pemerhati pendidikan. Pasalnya, penunjukan tersebut diduga melanggar Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 7 Tahun 2025 huruf c, yang mengatur syarat kualifikasi seorang kepala sekolah.


Penolakan Terbuka Dewan Guru.


Penolakan terhadap Sri Astuti tidak sekadar bergulir di ruang-ruang obrolan. Para guru SDN 5 Pedamaran dikabarkan telah menandatangani surat pernyataan kolektif yang menyatakan keberatan atas penunjukan tersebut.


"Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini murni soal aturan yang dilanggar," ungkap Rokiin Mat Itar, tokoh masyarakat Pedamaran yang menjadi corong suara para pendidik, Selasa (23/9/2025) pukul 09.00 WIB di kediamannya.


Menurutnya, masa pengabdian Sri Astuti sebagai guru dinilai belum memenuhi syarat minimal, sementara sertifikasi kepala sekolah yang menjadi salah satu poin krusial Permendikdasmen juga belum dimiliki. "Kalau aturan saja diabaikan, bagaimana mungkin sekolah bisa maju?" tegasnya.


Regulasi yang Diabaikan?


Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 huruf c secara tegas menyebutkan sejumlah syarat penting yang harus dipenuhi calon kepala sekolah. Mulai dari masa kerja minimal sebagai guru, sertifikat kompetensi kepala sekolah, hingga rekam jejak kepemimpinan yang terbukti efektif dalam meningkatkan mutu pendidikan.


Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, konsekuensinya jelas: teguran lisan, teguran tertulis, penundaan kenaikan pangkat, hingga pencopotan dari jabatan. Fakta inilah yang dijadikan amunisi para pengkritik untuk mendesak evaluasi terhadap penunjukan Sri Astuti.


Birokrasi yang Membisu.


Meski gelombang protes semakin keras, suara itu seolah terbentur tembok tebal birokrasi. Hingga berita ini diturunkan, keputusan penunjukan Sri Astuti tetap tidak berubah.


Lebih ironis, upaya Forum Wartawan Pedamaran (FWP) untuk meminta klarifikasi justru menemui jalan buntu. Sri Astuti disebut tidak merespons pesan WhatsApp dari wartawan, bahkan diduga melakukan pemblokiran nomor kontak.


Sikap bungkam ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan? Atau sekadar strategi menghindari tekanan publik? Yang jelas, ketertutupan informasi semakin mempertebal kecurigaan masyarakat.


Dampak pada Dunia Pendidikan.


Bagi masyarakat Pedamaran, polemik ini lebih dari sekadar persoalan jabatan. "Kalau aturan bisa dilanggar seenaknya, wibawa pendidikan kita bisa runtuh," kata Rokiin.


Kegelisahan itu beralasan. Dalam situasi ideal, kepala sekolah bukan hanya administrator, melainkan juga pemimpin visioner yang mampu menggerakkan guru, murid, dan orang tua untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan. Namun, jika syarat dasar saja tidak dipenuhi, bagaimana mungkin ekspektasi itu bisa diwujudkan?


Suara dari Lapangan.


Beberapa guru yang enggan disebutkan namanya mengaku resah. Mereka menilai penunjukan Sri Astuti bukan hanya keputusan sepihak, tetapi juga berpotensi menghambat perkembangan sekolah. "Kami ini bukan melawan pribadi Bu Sri, tapi melawan sistem yang dipaksakan," ujar seorang guru yang ditemui usai jam mengajar.


Guru lain menambahkan, kondisi sekolah kini makin terpuruk karena lemahnya pengawasan. "Kalau begini terus, murid yang jadi korban," ujarnya lirih.


Tuntutan Masyarakat.


Gelombang resistensi ini akhirnya bermuara pada tuntutan masyarakat Pedamaran kepada pihak berwenang untuk segera melakukan peninjauan ulang. Mereka mendesak agar proses penunjukan kepala sekolah benar-benar transparan, adil, dan sesuai aturan.


Masyarakat juga meminta pemerintah daerah dan dinas pendidikan untuk tidak menutup mata terhadap aspirasi pendidik. "Kalau suara guru saja tidak didengar, lalu siapa lagi yang akan diperjuangkan?" tandas Rokiin.


Menunggu Keberanian Otoritas.


Kontroversi penunjukan Sri Astuti menjadi gambaran nyata betapa rapuhnya tata kelola pendidikan jika aturan hanya dijadikan formalitas. Publik kini menunggu, apakah pihak berwenang berani menindak tegas dugaan pelanggaran, atau justru membiarkan praktik pemaksaan kehendak terus berulang?


Satu hal yang pasti, Pedamaran sudah bergolak. Dan dari sebuah sekolah dasar di sudut Ogan Komering Ilir, masyarakat sedang menguji integritas birokrasi pendidikan.


(Mas Tris)

×
Berita Terbaru Update