Notification

×

BPKAD OKI

BPKAD OKI

Guru Bukan Korban Kekuasaan: Belajar dari Kasus Prabumulih

Jumat, 26 September 2025 | 11.15.00 WIB Last Updated 2025-09-26T04:15:23Z


Oleh Trisno Okonisator


Seorang kepala sekolah menangis di depan murid-muridnya. Air mata itu terekam kamera, lalu viral di jagat maya. Publik pun tersentak: seorang pendidik yang seharusnya dihormati justru dicopot hanya karena menegur murid. Ironisnya, murid itu dikaitkan dengan status anak pejabat daerah.


Inilah kisah getir yang mengguncang Kota Prabumulih. Nama Wali Kota H Arlan terseret, bukan saja dalam perbincangan publik, tetapi juga dalam pemeriksaan Kemendagri. Bahkan partai pengusungnya, Gerindra, ikut turun tangan memberi teguran moral. Sebuah perkara yang seharusnya selesai di ruang kelas, kini menjelma badai politik dan birokrasi.


Guru dalam Posisi Rentan


Kasus ini memperlihatkan betapa rentannya posisi guru di negeri ini. Mereka berada di garda depan mendidik generasi, tetapi kerap tak mendapat perlindungan semestinya. Menegur murid bisa dianggap melampaui batas, mencopot jabatan ketua kelas bisa dituding melukai harga diri orang tua. Apalagi jika berhadapan dengan anak pejabat, konsekuensinya bisa fatal: mutasi hingga pencopotan.


Air mata yang terekam kamera itu bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan luka kolektif bangsa. Sebab, ketika seorang guru dipermalukan oleh kekuasaan, maka pendidikan pun dipermalukan.


Politik yang Memojokkan Pendidikan


Wali Kota H Arlan membantah pencopotan terkait anaknya dan menyebut mutasi sebagai hal wajar. Namun publik justru makin curiga. Semakin keras bantahan, semakin deras pula kecurigaan. Itulah hukum persepsi: klaim penguasa kerap berlawanan dengan keyakinan rakyat.


Kekuasaan yang menggunakan pendidikan sebagai panggung gengsi justru kehilangan wibawa. Alih-alih dihormati, pejabat dipandang arogan. Apalagi jika langkah birokrasi berujung pada penderitaan guru.


Reaksi Cepat Pusat dan Partai


Kemendagri bergerak cepat memanggil pihak terkait untuk klarifikasi. Dalam bahasa rakyat, itu sinyal: ada tindakan kepala daerah yang patut dipertanyakan.


Gerindra, partai pengusung H Arlan, juga memberi teguran. Ketua DPD Gerindra Sumsel, Kartika Sandra Desi, menegaskan partai tak membenarkan pencopotan yang menimbulkan keresahan. Sekalipun hanya sanksi moral, pesannya tegas: jangan ulangi kesalahan yang menyakiti guru.


Cermin Rapuh Kekuasaan


Kasus ini cermin rapuhnya kekuasaan. Seorang pejabat yang tersinggung teguran kecil bisa bereaksi berlebihan demi menjaga wibawa. Padahal, justru di situlah wibawa runtuh.


H Arlan terjebak kontradiksi: menyebut mutasi wajar, lalu meminta maaf, kemudian membantah intervensi, namun tetap mengakui ditegur partai. Publik sulit percaya pada pernyataan yang berubah-ubah. Di era digital, satu video singkat bisa meruntuhkan puluhan klarifikasi.


Menghormati Guru, Menyelamatkan Bangsa


Lebih dari sekadar kasus lokal, peristiwa ini adalah pengingat nasional: pendidikan adalah benteng terakhir bangsa. Guru adalah penopang akal sehat kolektif. Meremehkan guru sama dengan meruntuhkan peradaban.


Jika pemerintah daerah ingin berwibawa, tempatkan guru di posisi terhormat. Jika partai ingin menjaga citra, buktikan keberpihakan nyata pada pendidikan. Jika pejabat ingin dikenang baik, biarkan guru bekerja tanpa rasa takut.


Penutup


Doa guru yang terzalimi lebih tajam dari seribu pedang. Maka berhentilah memperlakukan mereka sebagai pion kekuasaan. Bangsa ini hanya bisa besar bila guru berdiri tegak dengan martabat yang dijaga.



Penulis adalah wartawan dan pemerhati isu hukum, Politik ,serta pendidikan.

×
Berita Terbaru Update