![]() |
Caption : Tambunan ( rambut putih baju kaos,red) sedang memberikan keterangan pada camat Pedamaran Yusnurzal dan lsm libra, saat meninjau lokasi yang disengketakan. |
OKI, transkapuas.com – Di tengah kebun-kebun sawit milik warga Pedamaran 5, 6, dan Burnai Timur, terbentang parit besar yang membelah akses dan memutus jalur kehidupan petani kecil. Parit yang disebut warga sebagai "parit gajah" itu dibangun oleh PT Martimbang Jaya Utama (MJU), perusahaan yang kini jadi sorotan lantaran diduga beroperasi tanpa kejelasan legalitas dan mengabaikan peran pemerintah daerah.
Di balik dalih pengamanan aset, muncul keluhan dan penderitaan. Warga tak lagi bisa mengangkut hasil panen dengan kendaraan roda empat. Jalan alternatif yang disiapkan PT MJU, hanya sebatas jalur motor sempit. Tak cukup untuk membawa hasil kebun yang selama ini menjadi sumber penghidupan.
“Kami petani sawit. Kalau cuma pakai motor, bagaimana kami bisa hidup? Ini bukan hanya soal jalan, tapi soal keberlangsungan ekonomi masyarakat,” keluh Tambunan, warga setempat yang ikut terdampak.
Perusahaan Tutup Akses, Pemerintah Baru Bertindak
Setelah gejolak warga mencuat, Dinas Pertanahan Kabupaten OKI turun ke lapangan. Namun upaya ini dinilai telat. Kepala Bidang Sengketa, Sri Marlinda, menyatakan pihaknya akan membuat berita acara dan menjadwalkan mediasi.
“Kami masih kumpulkan data. Akan kami laporkan ke atasan,” ujarnya singkat.
Sayangnya, belum ada sikap tegas yang menunjukkan keberpihakan nyata terhadap masyarakat. Padahal, jalan produksi desa yang selama ini digunakan bersama, tiba-tiba ditutup sepihak oleh perusahaan.
Kepala Desa Burnai Timur, M. Yusuf, mengungkap bahwa pihak desa sempat mencoba memperbaiki jalan bersama koperasi. Namun kini perbaikan itu tertunda karena sengketa dengan PT MJU.
“Kalau pun ada yang panen, tidak boleh lewat jalan itu. Siapa pun,” tegas Yusuf.
Pertanyaan Mendasar: PT MJU Perusahaan Apa Sebenarnya?
Kekesalan warga semakin menjadi ketika muncul pertanyaan besar: PT MJU ini sebenarnya perusahaan apa?
Neli Siregar, pemilik PT MJU, menyebut bahwa parit dibuat untuk mencegah pencurian dan melindungi kebun. Namun, hingga kini, tidak ada transparansi terkait izin usaha, bidang usaha yang dijalankan, bahkan status kepemilikan lahan.
“Kami hanya ingin kebun kami aman. Kalau warga mau menitipkan sawit pun silakan,” ujar Neli enteng, seolah-olah solusi bagi warga bisa diselesaikan dengan menitipkan hasil panen ke pihak yang justru memblokade jalan.
Ketua LSM Libra Indonesia, Siti Aisyah, melontarkan tudingan keras. Ia menyebut PT MJU tidak menghargai pemerintah daerah karena diduga tak memiliki izin resmi dan tak pernah memberikan ganti rugi kepada warga selama 14 tahun.
“Kami akan buat laporan lengkap. PT MJU ini tidak jelas. Apakah mereka punya izin perkebunan? Apakah mereka pelangsir sawit? Atau ada keterkaitan dengan pihak lain, seperti PLN? Semua akan kami bongkar,” tegasnya.
Warga Menunggu Nyali Pemkab OKI
Permasalahan parit gajah ini bukan sekadar konflik akses, tapi cermin dari lemahnya peran pengawasan pemerintah terhadap korporasi yang beroperasi di daerah. Warga bertanya-tanya, mengapa Pemkab OKI terkesan lamban? Mengapa perusahaan seperti PT MJU bisa leluasa memutus akses tanpa konsekuensi?
“Selama ini, kami diam. Tapi kalau pemerintah tidak bertindak, kami siap aksi turun ke lapangan. Ini tanah kami, bukan tanah penjajah!” tegas seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kini bola panas berada di tangan Pemerintah Kabupaten OKI. Apakah akan berpihak pada korporasi yang tak transparan, atau berdiri bersama rakyat kecil yang selama ini hidup dari kebun mereka sendiri?
( Mas Tris)