Caption : surat penegasan dari dinas perikanan OKI tentang Lebak lebung yang tidak terjual.
OKI, transkapuas.com — Dinas Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menegaskan bahwa pengelolaan objek lelang lebak yang tidak terjual wajib mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku. Penegasan ini disampaikan sebagai respons atas polemik pengelolaan sementara Lebak Petai Besar di Kecamatan Pedamaran.
Kepala Dinas Perikanan OKI, H. Ubaidillah, S.K.M., M.K.M., dalam surat resmi bernomor 500.5.2/111/Diskan.OKI/IV/2025, menyatakan bahwa pengelolaan lebak lebung dan sungai harus berpedoman pada Peraturan Daerah OKI Nomor 18 Tahun 2010, Perda Nomor 14 Tahun 2015, dan Peraturan Bupati OKI Nomor 72 Tahun 2016.
"Objek lelang lebak yang tidak terjual harus dikelola sesuai ketentuan dalam Surat Edaran Bupati OKI Nomor 523/434/SE/Pan.PTK/DISKAN.OKI/2024 yang berlaku hingga 31 Desember 2025," kata Ubaidillah dalam surat yang juga ditembuskan kepada Bupati OKI dan Kelompok Nelayan Lebak Petai Mandiri.
Ia juga mengingatkan bahwa kelompok nelayan yang tergabung dalam Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) diharapkan berperan aktif menjaga kelestarian ekosistem perairan dan mencegah praktik perikanan ilegal. Camat setempat juga diminta mengawasi pengelolaan lebak secara adil dan transparan.
Sebelumnya, polemik mencuat setelah Lebak Petai Besar gagal dilelang, dan pengelolaannya diserahkan kepada pihak kecamatan. Masyarakat menilai proses tersebut tidak transparan dan mengabaikan hak warga lokal.
Camat Pedamaran, M. Saman, melalui Kasi Kesos H. Tugiyo, disebut-sebut menyerahkan pengelolaan kepada pihak luar bernama Agus Hasan Mekki, yang dikenal sebagai “Mamanda Bupati OKI.” Dugaan adanya keuntungan pribadi dari oknum kecamatan menambah keresahan warga.
Tokoh masyarakat Pedamaran Satu, Monde Memet, menyayangkan keputusan tersebut. “Ini soal harga diri desa kami. Jangan seenaknya membawa nama besar untuk merebut hak masyarakat,” ujarnya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa nilai pengelolaan Lebak Petai Besar yang semula dipatok sekitar Rp80,5 juta kini hanya disebut-sebut senilai Rp70 juta. Ironisnya, dana tersebut diduga tidak masuk ke kas daerah Kabupaten OKI, melainkan ke kantong pribadi oknum yang berkepentingan.
Kondisi ini menuai keprihatinan, terlebih di tengah upaya peningkatan pendapatan daerah dan defisit anggaran yang dialami Pemkab OKI.
Ketegasan Dinas Perikanan OKI diharapkan tidak hanya berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar diwujudkan di lapangan. Masyarakat berharap pengelolaan sumber daya perairan benar-benar berpihak pada warga lokal, bukan hanya ganti nama namun dengan pola lama yang merugikan daerah.
"Jangan sampai lari dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau," ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya, menggambarkan kekecewaan atas kondisi tersebut.
(Mas Tris)