![]() |
Caption Objek Lebak petai besar , Lebak yang tak terjual justru di kuasai preman berlindung dibalik Mamanda bupati OKI, dengan memasang kelong. |
OKI, transkapuas.com – Pengelolaan lahan Lebak Petai Besar di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menuai polemik. Lahan produktif milik daerah tersebut diduga dikuasai secara sepihak oleh pihak tertentu yang disebut-sebut mendapat perlindungan dari “Mamanda” Bupati OKI berinisial AHM.
Kepala Dinas Perikanan OKI, Ubaidillah, bersama Kepala Bidang Tangkap dan Pengawasan, dinilai gagal mengambil tindakan tegas terhadap pengelolaan lahan yang melenceng dari aturan. Akibatnya, aset daerah yang seharusnya dikelola demi kepentingan masyarakat tidak lagi dimanfaatkan secara optimal.
“Jika Perda tidak ditegakkan, maka hukum rimba yang berlaku,” kata Arianto, pemerhati hukum OKI, Selasa (13/5/2025). Menurutnya, lemahnya pengawasan dan penegakan peraturan daerah menjadi akar masalah kisruhnya pengelolaan lahan tersebut.
Arianto menegaskan, dinas teknis seperti Dinas Perikanan memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga aset daerah. “Setiap pelanggaran terhadap Perda harus ditindak. Jika tidak, publik bisa kehilangan kepercayaan pada institusi negara,” ujarnya.
Informasi yang diperoleh Transkapuas.com menyebutkan, lahan Lebak Petai Besar sebelumnya berada di bawah kewenangan Pemkab OKI. Namun, pasca gagal dilelang, pengelolaannya dialihkan ke Kecamatan Pedamaran. Keputusan tersebut kemudian dioper oleh Kasi Kesos H. Tugiyo kepada pihak luar berinisial AHM, yang dikenal luas sebagai “Mamanda Bupati”.
Langkah tersebut menuai penolakan dari masyarakat karena dinilai tidak melalui mekanisme yang transparan dan mengabaikan prinsip musyawarah. “Ini penghinaan terhadap marwah desa. Tidak ada koordinasi dengan kami, kepala desa, atau perangkat desa lainnya,” kata Monde Memet, pengawas perikanan Desa Pedamaran Satu, Selasa (30/4/2025).
Bahkan, pengelolaan oleh pihak yang diduga dekat dengan pejabat tinggi itu dilakukan tanpa izin resmi. Mereka telah memasang alat tangkap tradisional seperti kelong di kawasan lebak, yang menurut warga tidak sesuai dengan ketentuan.
Salim Kosim, pengamat kebijakan publik dari Prisma Sumsel, menyebut lemahnya pengawasan Dinas Perikanan sebagai bentuk kegagalan birokrasi. “Kalau dinas tidak mampu menjaga aset negara, lebih baik mundur daripada makan gaji buta,” ujarnya, Rabu (8/5/2025).
Salim juga mendorong evaluasi menyeluruh terhadap pejabat terkait, termasuk Kepala Dinas Perikanan dan Camat Pedamaran. “Ini bukan hanya soal teknis, tapi menyangkut moralitas. Negara tidak boleh kalah oleh premanisme birokrasi,” tegasnya.
Dugaan penyimpangan juga muncul dalam aspek keuangan. Nilai pengelolaan lahan yang sebelumnya ditaksir Rp80,5 juta kini menurun menjadi Rp70 juta. Ironisnya, dana tersebut diduga tidak masuk ke kas daerah, melainkan ke kantong pribadi oknum tertentu.
Situasi ini semakin memperparah keresahan warga di tengah upaya Pemkab OKI menekan defisit anggaran. Masyarakat berharap pengelolaan sumber daya alam, khususnya perairan lebak, lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat ketimbang kepentingan elite.
“Jangan sampai lari dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau,” ucap salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Warga juga mendesak Bupati OKI, H. Muchendi Mahzareki, agar bersikap tegas dan tidak pilih kasih dalam penegakan aturan. Mereka menilai persoalan ini akan menjadi ujian awal kepemimpinan dalam 100 hari pertamanya.
“Kalau ini dibiarkan, sama saja dengan pemerintahan sebelumnya. Duit kecil saja dipermainkan, apalagi duit besar. OKI di ambang kehancuran, pemerintahan Muchendi Supri "kata Cakuk, warga Pedamaran.
( Mas Tris)