![]() |
Dinda Anugerah Tristi |
Oleh:Dinda Anugerah Tristi.
Negara ini tampaknya sedang mengalami krisis orientasi. Di satu sisi, ia begitu sigap terhadap rekening yang tidak aktif dan tanah yang tak tergarap. Tapi di sisi lain, terhadap manusia yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, negara justru pasif — bahkan nyaris absen.
Beberapa waktu terakhir, muncul kebijakan yang menyatakan bahwa rekening bank yang tak bergerak selama tiga bulan bisa dibekukan. Tanah yang tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu juga berisiko diambil alih oleh negara. Tujuannya, katanya, untuk optimalisasi aset. Tapi publik mulai bertanya-tanya: benarkah negara sedang mengoptimalisasi aset, atau sekadar mengobjekkan rakyatnya?
Di saat yang sama, jutaan warga tetap berada dalam status “tidak aktif” — bukan karena malas, tetapi karena sistem yang gagal memberi mereka kesempatan: pengangguran, pekerja informal yang terpinggirkan, petani tak bertanah, hingga anak muda yang drop-out karena biaya sekolah yang tak terjangkau. Tetapi terhadap mereka, negara tidak berlaku secepat dan segalak ketika menyasar benda mati.
Negara: Antara Operator Regulasi dan Pelindung Sosial
Dalam ilmu politik dan teori kenegaraan, negara seharusnya bertindak sebagai penjaga kepentingan umum. Tapi dalam praktiknya hari ini, negara lebih mirip manajer korporasi. Ia menghitung laba-rugi aset, mempercepat rotasi uang, dan mengelola properti — bukan mengelola kehidupan rakyat.
Kebijakan yang hanya didasarkan pada efisiensi administratif tanpa mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat berisiko menciptakan alienasi. Negara terlihat tidak hadir untuk rakyat, tapi untuk statistik dan spreadsheet. Padahal, esensi negara bukan sekadar mengatur, tapi mengayomi.
Keresahan Sosial dan Retaknya Kepercayaan
Dalam ilmu sosiologi, ini berbahaya. Kebijakan yang kaku terhadap aset bisa berimbas pada ketakutan di masyarakat bawah: uang disimpan di bank takut dibekukan, tanah warisan takut disita, sementara peluang kerja makin sempit. Situasi seperti ini memunculkan apa yang disebut Durkheim sebagai anomie — ketika norma sosial kehilangan relevansi karena realitas tak lagi sejalan dengan harapan.
Akibatnya? Rakyat bisa mulai menjauh dari institusi resmi. Percaya pada negara menurun. Dan dalam jangka panjang, situasi ini bisa meletup jadi krisis sosial — dari tarik tunai massal hingga ketidaktaatan sipil.
Hukum Bekerja Cepat untuk Aset, Lambat untuk Manusia
Secara hukum, pembekuan rekening atau penyitaan tanah tentu bisa saja punya dasar regulasi. Tapi jika negara lebih cepat memproses penyitaan daripada memberikan perlindungan sosial, maka jelas ada yang salah. Hukum berubah menjadi alat untuk mengelola barang, bukan untuk melindungi manusia.
Padahal, dalam UUD 1945, hak atas pekerjaan, hak atas penghidupan yang layak, dan hak milik diatur secara eksplisit. Maka, ketika negara lebih sibuk mengaudit rekening rakyat kecil daripada memastikan mereka bisa makan dan bertahan hidup, kita tidak sedang bicara soal hukum — tapi soal kegagalan moral.
Negara Harus Memulihkan Fungsi Kemanusiaannya
Negara bukan bank. Negara bukan developer. Negara adalah institusi publik yang lahir dari penderitaan rakyat, dibentuk untuk merawat kehidupan, bukan sekadar menghitung perputaran aset.
Jika prioritas negara tak dikoreksi, kepercayaan rakyat akan terus menurun. Dan ketika rakyat kehilangan kepercayaan, negara kehilangan legitimasi. Tidak ada negara kuat yang lahir dari rakyat yang takut. Kekuatan negara bukan pada seberapa aktif saldo warganya, tapi pada seberapa layak rakyatnya bisa hidup.
Penulis adalah alumni UIN Raden Patah Palembang Th.2023. dan pemerhati kebijakan publik yang tinggal Mariana ,Banyu Asin Sum sel.