![]() |
Caption : Gedung Kejari OKI, plang satgas PKH dan dugaan kegiatan yang telah disegel. |
OKI, transkapuas.com – Diamnya Kejaksaan Negeri Kayuagung dalam kasus penyegelan lahan sawit milik PT Russelindo Putra Pratama (RPP) di kawasan Gajah Mati, Kecamatan Sungai Menang, memicu pertanyaan publik. Meski masuk dalam struktur Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), lembaga hukum ini justru memilih bungkam ketika pelanggaran di lapangan terang-terangan berlangsung.
Upaya konfirmasi kepada Kepala Kejari OKI, Hendri Hanafi, sejak Jumat (18/7) hingga Senin (21/7), tak membuahkan hasil. Dalam pesan singkat, Hendri sempat menjawab singkat, “Baik, cek dulu ya Pak, karena terkaitnya PKH menjadi tugas Satgas Pusat.” Namun setelahnya, tak ada lagi respons. Permintaan wawancara resmi yang diajukan media ini juga tak digubris.
Berbeda dengan Kejati Sumsel yang terbuka, Kejari Kayuagung disebut justru memperlakukan wartawan secara selektif. Akses masuk dibatasi, dan ponsel sebagai alat kerja utama wartawan bahkan kerap diminta ditinggalkan saat wawancara. Ironisnya, perlakuan berbeda diberlakukan bagi wartawan tertentu.
Di lapangan, plang segel yang dipasang Satgas PKH di areal PT RPP ternyata tak berpengaruh. Aktivitas angkut sawit masih berlangsung. “Speed boat pengangkut hasil dari pesisir Sungai Mesuji tetap beroperasi. Tak ada pembatasan,” ungkap Hamadi, Ketua Lembaga Investigasi Negara Kabupaten OKI.
Hamadi menyebut, perusahaan tetap aktif meski legalitas pelepasan kawasan hutannya belum tuntas. Padahal, dalam Perpres No. 5 Tahun 2025, disebutkan jelas bahwa penggarap kawasan hutan tanpa izin dapat dikenai sanksi administratif hingga penyitaan aset.
“Yang terjadi justru sebaliknya. Aktivitas jalan terus, pengawasan mandek,” ujarnya, Senin (21/7).
Sikap pasif Kejari Kayuagung di tengah pelanggaran kasat mata ini dinilai sebagai bentuk melemahnya komitmen penegakan hukum di sektor kehutanan. Terlebih, pada hari yang sama saat plang segel dilanggar, Kejari justru sibuk dengan agenda seremonial peringatan HUT Ikatan Adhyaksa Dharmakarini.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa Satgas PKH hanya menjadi simbol tanpa taji. Ketika hukum tak ditegakkan, dan pelanggaran dianggap angin lalu, maka kawasan yang mestinya ditertibkan justru kian dikuasai tanpa kendali.
( Mas Tris)