![]() |
| Caption Trisno Okonisator. |
Oleh: Trisno Okonisator.
---------------------------------------.
Wartawan dan pemerhati kebijakan publik.
Hari ini, kita menyaksikan gejala yang mengkhawatirkan dalam dunia pers: wartawan makin rajin hadir, tetapi makin jarang bekerja. Ruang redaksi dipenuhi berita, namun miskin laporan. Judul berganti, isi serupa. Sumber tunggal, narasi tunggal. Semua lahir dari satu rahim: rilis resmi.
Fenomena ini sering dibenarkan dengan dalih adanya aturan yang mewajibkan wartawan berpedoman pada rilis institusi. Dalih ini keliru, sekaligus menyesatkan. Tak ada satu pun hukum di negeri ini yang memerintahkan wartawan tunduk pada rilis, apalagi menjadikannya kebenaran final.Undang-Undang Pers justru memberi mandat sebaliknya: pers harus independen, kritis, dan berpihak pada fakta.
Masalahnya, rilis kini diperlakukan sebagai doktrin. Ia bukan lagi bahan awal liputan, melainkan batas akhir kebenaran. Fakta yang tidak sejalan dengan rilis dianggap liar, bahkan berbahaya. Wartawan yang menulis di luar rilis dicap provokatif, tidak bersahabat, atau “tidak paham prosedur”. Di titik inilah pers mulai dijinakkan—bukan dengan larangan terbuka, melainkan dengan rasa takut.
Rasa takut itu dipelihara secara sistematis. Akses informasi dipersempit. Narasumber mendadak senyap. Ancaman hukum disamarkan lewat pasal karet. Maka banyak wartawan memilih jalan aman: duduk manis, salin rilis, lalu tayang. Bukan karena tak mampu menulis, melainkan karena terlalu sering disanksi saat jujur.
Perubahan paling kasat mata terlihat dalam praktik konferensi pers. Dahulu, konferensi pers adalah pintu masuk liputan. Hari ini, ia berubah menjadi mimbar pengumuman. Peristiwa telah diringkas, kesimpulan telah dikunci, dan pembenaran telah dipoles. Sesi tanya jawab bukan ruang klarifikasi, melainkan formalitas yang waktunya dipangkas.
Dalam kondisi seperti ini, wartawan tidak lagi diundang untuk bertanya, melainkan untuk mendengar. Tidak untuk menguji, melainkan untuk mengamini.
Krisis ekonomi media memperparah situasi. Upah rendah, beban tinggi, dan tuntutan kecepatan membuat rilis menjadi candu. Ia murah, cepat, dan bebas risiko.
Namun jurnalisme yang lahir dari kenyamanan semacam ini adalah jurnalisme yang kehilangan nyali. Ia ramai, tetapi tumpul. Banyak, tetapi hampa.
Ketika rilis menjadi berita, fungsi pers sebagai pengawas kekuasaan mati perlahan. Pers tidak lagi berdiri di hadapan kekuasaan, melainkan di sisinya. Kritik diredam, fakta disaring, dan publik hanya diberi versi resmi dari kenyataan. Ini bukan lagi jurnalisme, melainkan dokumentasi kekuasaan.
Perlu ditegaskan: wartawan bukan humas negara, bukan juru bicara institusi, dan bukan penyalin pernyataan pejabat. Tugas wartawan adalah memeriksa klaim, menguji narasi, dan menyusun fakta dengan keberanian. Rilis resmi hanyalah salah satu sumber, bukan kebenaran yang tak boleh disentuh.
Harga diri wartawan terletak pada kemampuannya menulis dengan akal sehat dan keberanian moral. Ketika rilis diterima tanpa verifikasi, yang runtuh bukan hanya kualitas berita, tetapi marwah profesi.
Jika pers ingin kembali dihormati, wartawan harus berhenti merasa aman di balik rilis. Kebenaran tidak pernah lahir dari kenyamanan, melainkan dari keberanian untuk bertanya dan menulis apa adanya.(*)
