Oleh: Trisno Okonisator
Wartawan & Aktivis
Pendahuluan
Rupiah bukan sekadar alat pembayaran, melainkan simbol kedaulatan ekonomi dan cerminan kepercayaan publik terhadap stabilitas nasional. Nilai tukar dan bentuk nominalnya bukan hanya urusan teknis, tetapi juga menyangkut martabat ekonomi bangsa.
Dalam beberapa dekade terakhir, kenaikan harga barang dan nilai transaksi menyebabkan nominal rupiah semakin panjang — seperti Rp10.000 hingga Rp100.000. Kondisi ini menimbulkan kendala dalam transaksi harian, pembukuan, hingga sistem digital keuangan yang menuntut kecepatan dan efisiensi.
Salah satu langkah strategis yang tengah dikaji Bank Indonesia adalah redenominasi rupiah, yakni penyederhanaan digit nominal uang tanpa mengubah daya beli masyarakat. Sebagai contoh, Rp1.000 menjadi Rp1, namun nilai ekonominya tetap sama.
Sayangnya, sebagian masyarakat masih menyamakan redenominasi dengan sanering — pemotongan nilai uang yang menurunkan daya beli. Padahal keduanya berbeda secara mendasar. Redenominasi hanya menyederhanakan angka, bukan mengurangi nilai. Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada pemahaman publik terhadap perbedaan konsep tersebut.
Manfaat dan Peluang
Dari perspektif ekonomi makro, redenominasi memiliki manfaat strategis.
Pertama, penyederhanaan digit rupiah akan meningkatkan efisiensi transaksi. Proses pembayaran menjadi lebih cepat dan minim kesalahan hitung, baik di tingkat individu maupun lembaga keuangan.
Kedua, dari sisi akuntansi dan administrasi publik, penyajian data keuangan menjadi lebih ringkas dan jelas. Ini mendukung transparansi dalam laporan keuangan pemerintah dan korporasi.
Ketiga, redenominasi memperkuat digitalisasi sistem pembayaran nasional. Nominal yang lebih sederhana lebih kompatibel dengan sistem elektronik, e-commerce, serta layanan keuangan digital yang kini tumbuh pesat di Indonesia.
Selain itu, redenominasi juga membawa efek psikologis positif. Mata uang dengan nominal sederhana sering diasosiasikan dengan stabilitas ekonomi dan kredibilitas pemerintah. Citra tersebut dapat meningkatkan kepercayaan investor serta memperkuat posisi rupiah di mata dunia.
Tantangan dan Risiko
Namun, peluang tersebut tidak lepas dari tantangan yang perlu diantisipasi dengan hati-hati.
Tantangan utama adalah inflasi psikologis, yakni kecenderungan pelaku usaha menaikkan harga karena persepsi bahwa nilai uang berkurang. Jika sosialisasi tidak efektif, masyarakat dapat salah menafsirkan redenominasi sebagai sanering.
Selain itu, selama masa transisi, uang lama dan uang baru akan beredar bersamaan. Situasi ini berpotensi menimbulkan kebingungan dalam transaksi dan pencatatan keuangan. Di sisi lain, implementasi redenominasi juga memerlukan biaya besar untuk pencetakan uang baru, penyesuaian mesin transaksi, dan pembaruan sistem di sektor keuangan.
Meski demikian, tantangan terbesar justru terletak pada kepercayaan publik. Sebab, stabilitas ekonomi tidak hanya dibangun oleh angka dan kebijakan, tetapi juga oleh rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah dan otoritas moneter.
Syarat Keberhasilan
Agar redenominasi berjalan efektif, setidaknya ada lima prasyarat utama yang harus dipenuhi:
1. Inflasi rendah dan stabil selama minimal dua hingga tiga tahun berturut-turut.
2. Stabilitas politik dan kepercayaan publik terhadap pemerintah serta Bank Indonesia.
3. Kesiapan infrastruktur sistem pembayaran nasional, terutama di sektor digital perbankan.
4. Edukasi publik yang masif dan berkelanjutan, untuk mencegah salah persepsi.
5. Koordinasi lintas lembaga, melibatkan BI, OJK, pemerintah, DPR, pelaku usaha, dan lembaga keuangan.
Tanpa prasyarat tersebut, redenominasi berpotensi menimbulkan distorsi ekonomi dan gejolak harga yang merugikan masyarakat.
Payung Hukum dan Momentum
Redenominasi tidak dapat dijalankan tanpa dasar hukum yang kuat. Pemerintah bersama DPR perlu menyiapkan Undang-Undang Redenominasi Rupiah sebagai payung hukum pelaksanaan kebijakan ini.
Regulasi tersebut perlu mengatur secara rinci tahapan pelaksanaan, masa transisi uang lama dan baru, ketentuan penulisan harga ganda (dual price display), serta batas waktu penarikan uang lama dari peredaran. Kepastian hukum akan memberikan rasa aman bagi dunia usaha dan publik.
Dari sisi momentum, pengalaman berbagai negara menunjukkan keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan stabilitas politik. Turki, Rusia, dan Romania berhasil menerapkannya ketika inflasi terkendali dan pemerintah memiliki legitimasi kuat.
Bagi Indonesia, waktu yang tepat untuk memulai tahapan redenominasi adalah setelah tahun politik — sekitar 2026–2030 — ketika pemerintahan telah stabil dan fokus pada konsolidasi ekonomi nasional.
Penutup
Redenominasi rupiah bukan sekadar perubahan angka di lembar uang, melainkan langkah menuju sistem moneter yang efisien, modern, dan kredibel. Kebijakan ini dapat memperkuat kepercayaan publik, mendorong efisiensi transaksi, serta mendukung integrasi ekonomi digital nasional.
Namun, keberhasilan redenominasi tidak hanya ditentukan oleh kesiapan teknis, melainkan oleh kepercayaan masyarakat dan transparansi kebijakan. Dengan dukungan regulasi yang kuat, komunikasi publik yang baik, dan koordinasi lintas sektor, redenominasi dapat menjadi tonggak penting reformasi moneter — menuju Indonesia yang lebih stabil, berdaulat, dan berdaya saing di kancah global.(*)
