![]() |
Caption : Rizal Syamsul SH.MH .C.P.LA. |
OKI, transkapuas.com — Di saat masyarakat menggantungkan harapan pada pelayanan kesehatan yang layak, justru dugaan korupsi kembali menghantam institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan: Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sumatera Selatan mengungkap temuan mencengangkan
Sebanyak 18 kegiatan fiktif pada tahun anggaran 2023 dengan nilai kerugian negara ditaksir mencapai Rp2,3 miliar. Kegiatan-kegiatan itu diklaim berupa pelatihan, seminar, dan perjalanan dinas.
Namun faktanya, menurut BPK, tidak ditemukan peserta, tidak ada hotel, tidak ada narasumber, dan tidak ada dokumentasi kegiatan.
“Yang dikembalikan baru Rp215 juta. Selebihnya? Masih hilang di semesta,” ujar seorang pejabat BPK Sumsel yang enggan disebut namanya, Jumat (1/8/2025).
Wartawan transkapuas.com telah berupaya menghubungi pihak Dinas Kesehatan OKI untuk meminta konfirmasi dan klarifikasi. Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak ada satu pun pejabat yang memberikan jawaban, baik melalui sambungan telepon maupun pesan tertulis.
Sikap bungkam ini menambah panjang daftar kejanggalan. Ketika dimintai tanggapan, beberapa pejabat malah berkelit dengan alasan klasik: tidak tahu aturan dan hanya meneruskan “kebiasaan lama”.
Sikap tersebut justru menyakitkan nalar publik. Sebab dalam kacamata hukum dan etika birokrasi, ketidaktahuan tidak bisa menjadi alasan pembenar pelanggaran.
Lebih dari Sekadar Anggaran, Ini Soal Nurani
Kritik juga dialamatkan kepada Inspektorat OKI, lembaga yang seharusnya menjadi pengawas internal pemerintahan daerah. Namun hingga kini, inspektorat terkesan pasif dan tidak bersuara.
“Kalau semua lembaga pengawasan diam, lalu siapa yang akan berdiri untuk rakyat?” tanya Achik muchrom seorang aktivis di Kayuagung.
Tak hanya uang negara yang hilang, nilai kepercayaan publik dan moralitas birokrasi pun ikut tergerus. Sektor kesehatan adalah urat nadi rakyat kecil ,setiap rupiah seharusnya digunakan untuk pengadaan alat kesehatan, pelatihan tenaga medis, atau obat-obatan bagi masyarakat.
Namun yang tampak justru sebaliknya: sistem yang membiarkan pelanggaran menjadi kebiasaan, dan pembiaran menjadi budaya.
Publik Menunggu Tindakan Hukum
Hingga kini belum ada langkah hukum tegas dari aparat penegak hukum terkait temuan tersebut. Padahal temuan BPK sudah cukup menjadi dasar awal penyelidikan.
“Pengembalian uang tidak menghapus tindak pidana korupsi,” kata Rizal Syamsul SH.MH .C.P.LA, seorang praktisi hukum di Palembang.
Kini yang dibutuhkan adalah langkah konkret penegakan hukum dan pemulihan moral birokrasi, bukan sekadar pernyataan normatif atau klarifikasi kosong.
Jika tidak, rakyat OKI akan kembali menjadi korban dari “tragedi sunyi” — ketika uang mereka hilang tanpa suara, dan para pejabatnya tetap duduk nyaman di balik meja, seolah tak terjadi apa-apa.
( Mas Tris)