Notification

×

BPKAD OKI

BPKAD OKI

Dentang Palu dan Aroma Kayu Meranti: Napas Panjang Ketek dari Simpang Tiga

Senin, 11 Agustus 2025 | 06.22.00 WIB Last Updated 2025-08-10T23:22:51Z
Caption : Saat Tukang Perahu Ketek mengerjakan pesanan untuk konsumen didesa Simpang Tiga kecamatan Tulung Selapan OKI.


OKI transkapuas.com --Pagi itu, di tepian Sungai Desa Simpang Tiga, Tulung Selapan, kabut masih menggantung rendah di atas permukaan air. Riak-riak kecil memantulkan sinar matahari yang baru muncul di ufuk timur. Di sebuah bengkel sederhana berdinding papan, suara dentang palu berpadu dengan derit gergaji, menciptakan irama yang khas—musik harian para pengrajin ketek.


Aroma khas kayu meranti merah menyeruak, hangat dan sedikit getir. Kayu-kayu panjang tergeletak rapi di sudut bengkel, sebagian sudah dihaluskan, sebagian lagi masih menunggu giliran untuk dirangkai menjadi badan perahu. Di luar, seekor ayam jantan berkokok seakan memberi tanda bahwa hari kerja baru saja dimulai.


Suherman, lelaki berusia 48 tahun, memegang pahat dengan mantap. Tangannya bergerak cepat, mengikis tepi papan agar pas dengan lengkungan lambung perahu. “Ini kayu meranti merah. Harus kering betul, kalau tidak, gampang pecah,” ujarnya tanpa menghentikan pekerjaannya.


Membuat ketek bukan sekadar menyusun papan dan memasang mesin. Ada ritme yang harus diikuti, ada “rasa” yang hanya dimiliki mereka yang tumbuh bersama sungai. Dari pemilihan kayu, pengeringan selama seminggu, hingga perakitan yang membutuhkan presisi, semuanya dilakukan dengan kesabaran. Satu badan perahu bisa memakan 60 keping kayu. Mesin yang dipasang bervariasi, dari diesel hingga mesin engkol, tergantung keinginan pemesan.


“Kalau ada yang pesan sekarang, paling cepat dapatnya tahun depan,” kata Suherman sambil tersenyum. Bukan tanpa alasan antrean bisa sepanjang itu—ketek buatannya terkenal kuat, tahan lama, dan catnya awet meski sering terendam air asin.


Di sungai, ketek adalah nyawa. Ia mengantar nelayan melaut, anak-anak bersekolah, hingga warga menyeberang ke desa tetangga. Di atas ketek, cerita-cerita lahir, cinta bersemi, dan kabar duka dibawa pulang. Di sinilah ketek menjadi lebih dari sekadar alat transportasi; ia adalah penjaga identitas dan pengikat komunitas.


Sang Dewi Rusmin Nuryadin salah satu Tokoh masyarakat dari Tulung Selapan menyebut fenomena ini sebagai “ekonomi berbasis warisan budaya”. Menurut sang Dewi keberadaan ketek tak hanya penting secara ekonomi, tetapi juga secara kultural. “Kalau ketek hilang, maka sebagian memori kolektif masyarakat sungai juga ikut lenyap,” ujar sang dewi pada transkapuas com.Minggu ( 10/10/2025)


Bagi Desa Simpang Tiga, pelestarian ini adalah bentuk perlawanan halus terhadap arus modernisasi yang kian deras. Mesin kapal fiber mungkin lebih cepat, tetapi ia tak punya jiwa seperti ketek. Setiap ketek yang lahir dari tangan pengrajin adalah perpaduan kerja keras, kesabaran, dan cerita panjang yang dimulai dari ayunan tangan generasi sebelumnya.


Ketika sore menjelang, bengkel kembali hening. Hanya suara air sungai yang mengalir, sesekali diselingi deru ketek yang melintas, membawa penumpang pulang. Dan di situlah, di setiap percikan air yang memantul ke badan perahu, napas panjang budaya pesisir terus berdenyut.


( Mas Tris)

×
Berita Terbaru Update