![]() |
Caption : Kantor dinas kebudayaan dan pariwisata OKI |
OKI, transkapuas.com – Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) kembali disorot menyusul temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atas Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2024. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) OKI menjadi salah satu satuan kerja yang diduga melakukan penyimpangan dalam pengelolaan belanja barang dan jasa.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, ditemukan dua indikasi penyimpangan serius, yaitu:
Belanja barang dan jasa tanpa bukti lengkap dan sah sebesar Rp621.382.000
Kelebihan pembayaran belanja sebesar Rp379.046.479,80
Total nilai dugaan penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara mencapai Rp1.000.428.479,80.
Permak: Jangan Hanya Dikembalikan, Harus Diproses Hukum
Menanggapi temuan tersebut, Ketua Umum LSM Persatuan Masyarakat Anti Korupsi (Permak), Hernis, menegaskan pentingnya penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan keuangan daerah.
"Kami apresiasi kinerja BPK, tetapi tidak cukup hanya dengan pengembalian kerugian negara. Harus ada proses hukum,” kata Hernis, Selasa (15/7/2025).
Permak juga mendesak agar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata OKI membuka bukti transfer dan rekening koran kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas.
Kepala Dinas: Sudah Ditindaklanjuti
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata OKI, Ahmadin Ilyas, SE, M.Si, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan perbaikan administratif atas temuan tersebut.
"Kekurangan berkas sudah dibenahi sebelum LHP diterbitkan. Kelebihan belanja memang ada, berasal dari honor kegiatan bidang kebudayaan, termasuk honor dua BMD dan petugas korsik,” ujarnya.
Menurutnya, honor petugas korsik seharusnya hanya dibayarkan saat ada kegiatan, bukan setiap bulan. Ia memastikan telah mengimbau pengembalian kelebihan pembayaran dan melakukan penyetoran ulang ke kas daerah.
Potensi Jerat Hukum
Dari perspektif hukum, jika ditemukan adanya niat memperkaya diri atau orang lain melalui penyalahgunaan jabatan yang menyebabkan kerugian negara, maka pihak terkait berpotensi dijerat Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
Jika ada unsur suap atau pemberian hadiah, dapat pula dikenakan Pasal 9 UU Tipikor. Selain itu, Pasal 55 KUHP dapat diterapkan jika terdapat pihak yang turut serta membantu dalam proses pencairan atau pertanggungjawaban anggaran.
Permak Siap Lapor ke Kejati Sumsel
Permak menyatakan siap melaporkan kasus ini secara resmi ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) dan mendorong agar penegakan hukum tak berhenti pada sanksi administratif.
"Diera Presiden Prabowo Subianto, pemberantasan korupsi jangan hanya slogan. Tikus-tikus kantor di daerah pun harus dibasmi,” tegas Hernis.
Permak juga mengajak masyarakat sipil, KPK, dan instansi pengawas lainnya untuk turut mengawal kasus ini hingga tuntas di ranah hukum.
( Mas Tris)