![]() |
Foto: Suasana seminar gawai Dayak ke XIV Kabupaten Sekadau |
Sekadau, transkapuas.com - Dalam rangkaian kegiatan Pekan Gawai Dayak Ke-XIV Kabupaten Sekadau, sebuah seminar penting digelar dengan tema “Peran Hak Kekayaan Intelektual (PHKI) dalam Melestarikan dan Mempromosikan Keanekaragaman Budaya serta Perlindungan Hak Cipta Lagu di Era Digital”, di laksanakan di Gedung PKK Kabupaten Sekadau pada Jum'at (25/7/2025).
Kegiatan seminar yang berlangsung di Sekadau ini dibuka secara resmi oleh Asisten II Setda Sekadau, Sandae, mewakili Bupati Sekadau. Turut hadir Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sekadau, Jepray Raja Tugem, Ketua Panitia Pelaksana Gawai Dayak Kabupaten Sekadau Ke-XIV Radius tahun 2025, serta Peserta dari berbagai sub suku Dayak di Kabupaten Sekadau.
Narasumber pertama, Herry Hermawan dari Kanwil Kemenkumham Kalimantan Barat, menyampaikan pentingnya pencatatan dan perlindungan terhadap hak cipta, terutama karya seni seperti lagu-lagu daerah. Ia menyebutkan bahwa di tahun 2025, belum ada catatan pendapatan signifikan dari sektor HKI di wilayah ini. Padahal, menurutnya, banyak kasus pelanggaran hak cipta terjadi, termasuk klaim sepihak atas lagu-lagu tradisional Dayak yang telah dipublikasikan tanpa izin pencipta aslinya.
“Jika Bapak-Ibu memiliki bukti kepemilikan lagu, seperti sertifikat atau catatan cipta, maka Anda berhak melakukan klaim hukum dan perlindungan terhadap karya tersebut,” tegasnya.
Herry juga memperkenalkan sistem pelaporan pelanggaran HKI yang kini bisa dilakukan secara digital melalui platform khusus tanpa harus datang langsung ke Pontianak. Pelaporan bisa diproses dalam waktu kurang dari satu jam untuk ditindaklanjuti.
Sementara itu, narasumber kedua, Feliks Chismayudha, STTP, M.Kesos, mewakili Kepala Badan Bidang Riset dan Inovasi Daerah (BAPERIDA) menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya HKI, terutama pada karya yang dianggap belum memiliki nilai ekonomi besar. Ia mencontohkan kasus internasional tentang foto monyet yang sempat viral dan diperdebatkan mengenai siapa pemilik hak ciptanya sang fotografer atau monyet yang menekan tombol kamera.
“Ini menggambarkan pentingnya pemahaman bahwa hak cipta hanya bisa dimiliki oleh manusia, dan setiap hasil karya sebaiknya dicatatkan untuk menghindari konflik di kemudian hari,” jelas Feliks.
Ia menambahkan, Pemerintah terus memfasilitasi pendaftaran HKI dan mendorong masyarakat, khususnya seniman dan budayawan Dayak, agar lebih sadar akan pentingnya melindungi karya cipta mereka, khususnya di era digital yang sangat rentan terhadap pembajakan.
Seminar ini diharapkan menjadi langkah awal yang konkret dalam memperkuat kesadaran masyarakat adat, khususnya generasi muda Dayak, akan pentingnya perlindungan hak kekayaan intelektual sebagai bagian dari pelestarian budaya lokal.(tim/bbg)