Notification

×

BPKAD

BPKAD

VT

VT

Oki 3

Oki 3

Oki 2

Oki 2

Oki 1

Oki 1

Lembah beringin

Lembah beringin

Budaya Meriah, Dinas Pariwisata Mati Gaya

Minggu, 06 April 2025 | 05.18.00 WIB Last Updated 2025-04-05T22:18:50Z
Caption : di hari ke tiga dan ke empat Idul Fitri 1446 H, puluhan pasangan muda-mudi menyusuri sungai Komering kecamatan kota Kayuagung OKI Sum sel . ( Foto diskominfo OKI)


OKI, transkapuas.com - Semarak budaya di Kayuagung saat Lebaran membuktikan kekayaan tradisi lokal tak pernah kehilangan pesona. Dari kemegahan Midang Bebuke, lantunan sastra tutur Cang Incang, hingga keseruan Cakat Stempel, semuanya menjadi hiburan rakyat yang dinanti saban tahun. Namun di balik kemeriahan itu, Dinas Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) justru terlihat redup, tanpa sentuhan inovasi maupun promosi yang layak.


Pada hari ketiga dan keempat Lebaran, puluhan pasangan pengantin berpakaian adat menyusuri Sungai Komering dalam tradisi Midang Bebuke. Arak-arakan pengantin diiringi tanjidor dan sambutan hangat masyarakat, berakhir di kawasan Pantai Love, Kayuagung. Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-17 dan menjadi simbol budaya suku Kayuagung.


Kemeriahan tak berhenti di sana. Di pelataran kampung dan panggung kecil, generasi muda unjuk kebolehan dalam lomba Cang Incang, sastra tutur warisan leluhur yang kini mulai bangkit kembali berkat antusiasme Gen Z. Mereka tampil percaya diri, menunjukkan bahwa budaya tak lekang oleh zaman—meski era digital dan teknologi makin mendominasi.


Sementara di Sungai Komering, suara deru speedboat menambah warna. Inilah Cakat Stempel, tradisi seru khas Lebaran. Warga naik perahu cepat, diterpa air sungai yang memercik liar. “Dak basah, dak lebaran,” jadi slogan sakral yang diwarisi turun-temurun.


Namun, semua itu terjadi berkat inisiatif dan gotong royong warga. Pemerintah daerah, terutama Dinas Pariwisata OKI, nyaris tak terlihat kontribusinya. Minimnya promosi, tidak adanya dokumentasi profesional, hingga absen dari pengembangan kreatif—semua menjadi catatan merah.


“Dinas Pariwisata itu cuma muncul pas hari H, itupun hanya untuk foto-foto. Setelah itu, hilang lagi,” sindir guluk Evi  pegiat budaya muda OKI. Ia menilai pemerintah terlalu pasif dan tidak punya arah dalam menjadikan budaya sebagai aset wisata unggulan.


Kritik juga datang dari masyarakat Pedamaran, daerah yang aktif menghidupkan tradisi Berarak Petang hampir setiap bulan. “Kami tak menunggu pemerintah. Kalau tunggu bantuan, entah kapan jalan. Jadi masyarakat sendiri yang jaga tradisi ini,” ujar cakuk egol , tokoh muda Pedamaran.


Bahkan, pasangan pengantin harus antre demi memesan tanjidor sebagai pengiring berarak, terutama di bulan Ruwah dan Syawal. Tradisi hidup karena semangat masyarakat, bukan karena kebijakan.


Warga berharap Dinas Pariwisata OKI tak hanya jadi penonton budaya sendiri. Perlu ada gebrakan nyata—dari promosi digital, festival budaya terjadwal, hingga kolaborasi dengan komunitas kreatif. Budaya sudah begitu meriah, tapi sayangnya, dinasnya… mati gaya.( Mas Tris).

×
Berita Terbaru Update